Model pembelajaran AIR (Auditory, Intellectually, Repetition)


Model pembelajaran AIR (Auditory, Intellectually, Repetition)
by abi hifani @alfian


A.  Pengertian

Model pembelajaran AIR (Auditory, Intellectually, Repetition) merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif, sehingga karakteristik dari model pembelajaran kooperatif terdapat dalam model pembelajaran ini. Pembelajaran kooperatif adalah strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda (Isjoni, 2009). Slavin dalam Isjoni (2010) mengungkapkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4–6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Slavin dalam Isjoni (2009) juga menyatakan tiga karakteristik dari model pembelajaran kooperatif yaitu penghargaan kelompok, penghargaan kelompok ini diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan; pertanggungjawaban individu, pertanggungjawaban ini menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar; serta kesempatan yang sama untuk berhasil, setiap siswa baik yang berprestasi rendah atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Model pembelajaran AIR adalah model pembelajaran yang menganggap bahwa suatu pembelajaran akan efektif jika memperhatikan tiga hal, yaitu Auditory, Intellectually, and Repetition. Auditory berarti indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Intellectually berarti kemampuan berpikir perlu dilatih melalui latihan bernalar, mencipta, memecahkan masalah, mengkonstruksi, dan menerapkan. Repetition berarti pengulangan diperlukan dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mendalam dan lebih luas, siswa perlu dilatih melalui pengerjaan soal, pemberian tugas, dan kuis.

1.     Auditory
Auditory berarti indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Linksman dalam Alhamidi (2006) mengartikan auditory dalam konteks pembelajaran sebagai belajar dengan mendengar, berbicara pada diri sendiri, dan juga mendiskusikan ide dan pemikiran pada orang lain. Salah satu aktifitas belajar adalah mendengar. Tidak mungkin materi yang disampaikan secara lisan oleh guru dapat diterima dengan baik oleh siswa apabila siswa tersebut tidak menggunakan indera pendengaran dalam arti lain mendengar. Hal ini berarti bahwa auditory sangat penting dalam memahami materi. Guru harus mampu untuk mengondisikan siswa agar mengoptimalkan indera telinganya, sehingga koneksi antara telinga dan otak dapat dimanfaatkan secara optimal. Guru dapat meminta siswa untuk menyimak, mendengar, berbicara, presentasi, berargumen, mengemukakan pendapat, dan menanggapi sehingga menciptakan suasana belajar yang aktif.
Terdapat beberapa strategi belajar secara auditory yang dikemukakan oleh Meier dalam Nirawati (2009) diantaranya: mintalah siswa untuk berpasangan, membincangkan secara terperinci apa yang baru mereka pelajari dan bagaimana menerapkannya; mintalah siswa mempraktikkan suatu keterampilan atau memperagakan suatu konsep sambil mengucapkan secara terperinci apa yang sedang mereka kerjakan; serta mintalah siswa untuk berkelompok dan berbicara pada saat mereka menyusun pemecahan masalah.
De Porter (2003) mengungkapkan strategi mengajar scara auditory yaitu: gunakan variasi lokal (perubahan nada, kecepatan, dan volume) dalam presentasi; mengajar sesuai dengan cara menguji, jika menyajikan informasi dalam urutan atau format tertentu, ujilah informasi itu dengan cara yang sama; gunakan pengulangan, minta siswa menyebutkan kembali konsep kunci dan petunjuk; setelah tiap segmen pengajaran, minta siswa memberitahukan teman di sebelahnya satu hal yang dia pelajari; nyanyikan konsep kunci atau minta siswa mengarang lagu mengenai konsep itu; kembangkan dan dorong siswa untuk memikirkan jembatan keledai untuk menghafal konsep kunci; serta gunakan musik sebagai aba-aba untuk kegiatan rutin.

2.     Intellectually
Intellectually diartikan sebagai belajar berpikir dan memecahkan masalah. Intellectually yaitu belajar dengan berpikir untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan berpikir perlu dilatih melalui latihan bernalar, mencipta, memecahkan masalah, mengonstruksi, dan menerapkan.
Menurut Meier dalam Nirawati (2009), intelektual menunjukkan apa yang dilakukan pembelajar dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman tersebut. Intelektual adalah sebagian dari merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna. Intelektual merupakan penciptaan makna dalam pikiran, sarana yang digunakan manusia untuk berpikir, menyatukan pengalaman belajar. Intelektual menghubungkan pengalaman mental, fisik, emosional, dan gerak tubuh untuk membuat makna baru bagi diri sendiri, sarana yang digunakan pikiran untuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, dan pengetahuan menjadi pengalaman. Meier dalam Nirawati (2009) menyatakan bahwa belajar intelektual yaitu belajar melalui perenungan (tafakur), mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna. Aspek intelektual dalam belajar akan terlatih jika siswa diajak terlibat dalam aktivitas seperti: memecahkan masalah, menganalisis pengalaman, melahirkan gagasan kreatif, mencari dan menyaring informasi, merumuskan pertanyaan, dan menerapkan gagasan baru saat belajar. Intelektual menunjukkan kegiatan pikiran siswa secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan pengalamannya.
Terdapat beberapa kegiatan dalam intelektual diantaranya: menganalisis, memecahkan masalah, fokus, perhatian; menghubungkan informasi dan mensintesis; menilai, membandingkan, memeriksa, dan mencocokkan (Meier dalam Nirawati, 2009). Guru harus berusaha untuk merangsang, mengarahkan, memelihara, dan meningkatkan intensitas proses berpikir siswa demi tercapainya pemahaman konsep yang maksimal pada siswa. Guru harus berusaha mendorong siswa agar belajar secara berhasil.

3.     Repetition
Pengulangan merupakan salah satu prinsip dasar pembelajaran. Dimyati (2002) mengemukakan bahwa ada tiga teori yang menekankan pentingnya pengulangan, yaitu: teori Psikologi Daya, teori Psikologi Asosiasi (Koneksionisme), dan teori Psikologi Conditioning. Teori Psikologi Daya menyatakan belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir, dan sebagainya. Melalui pengulangan, maka daya-daya tersebut akan berkembang. Teori Psikologi Asosiasi (Koneksionisme) dengan hukum belajar dari Thorndike yaitu “law of exercise” mengungkapkan bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, serta pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar.           
Terakhir, teori Psikologi Conditioning yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Koneksionisme juga menekankan pentingnya pengulangan dalam belajar. Kalau pada Koneksionisme, belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respons maka pada Psikologi Conditioning, respons akan timbul bukan karena saja oleh stimulus, tetapi juga oleh stimulus yang dikondisikan. Menurut teori ini, perilaku individu dapat dikondisikan, dan belajar merupakan upaya untuk mengkondisikan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Mengajar adalah membentuk kebiasaan, mengulang-ulang suatu perbuatan sehingga menjadi suatu kebiasaan.
Davies dalam Dimyati (2002) menyatakan bahwa penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secarakeseluruhan lebih berarti, sehingga pengulangan masih diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Implikasi adanya prinsip pengulangan bagi siswa adalah kesadaran siswa untuk bersedia mengerjakan latihan-latihan yang berulang untuk satu macam permasalahan. Melalui kesadaran ini, diharapkan siswa tidak merasa bosan dalam melakukan pengulangan. Bentuk perilaku pembelajaran yang merupakan implikasi pengulangan diantaranya menghapal. Implikasi prinsip pengulangan bagi guru adalah mampu memilihkan antara kegiatan pembelajaran yang berisi pesan yang membutuhkan pengulangan dengan yang tidak membutuhkan pengulangan (Dimyati, 2002). Hal ini perlu dimiliki oleh guru karena tidak semua pesan pembelajaran membutuhkan pengulangan.
Perilaku guru yang merupakan implikasi prinsip pengulangan di antaranya adalah merancang pelaksanaan pengulangan, mengembangkan atau merumuskan soal-soal latihan mengembangkan petunjuk kegiatan psikomotorik yang harus diulang, mengembangkan alat evaluasi kegiatan pengulangan, dan membuat kegiatan pengulangan yang bervariasi. Pengulangan yang dilakukan tidak berarti dilakukan dengan bentuk pertanyaan ataupun informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak membosankan. Melalui pemberian soal dan tugas, siswa akan mengingat informasiinformasi yang diterimanya dan terbiasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematis.

B.     Langkah-Langkah Model Pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR)

Adapun Langkah-langkah pembelajaran AIR menurut Meirawati (dalam Humaira, 2012: 21-22) yaitu:

Tahap Auditory
1)      Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil.
2)      Guru membagikan LKS (Lembar Kerja Siswa) kepada siswa untuk dikerjakan secara kelompok.
3)      Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai soal LKS yang kurang dipahami.

Tahap Intelectually
1)      Guru membimbing kelompok belajar siswa untuk berdiskusi dengan rekan dalam satu kelompok sehingga dapat menyelesaikan LKS.
2)      Guru memberi kesempatan kepada beberapa kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya.
3)      Guru memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.

Tahap Repetition

1)      Memberikan latihan soal individu kepada siswa.Dengan diarahkan guru, siswa membuat kesimpulan secara lisan tentang materi yang telah dibahas

C.    Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran AIR

Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan seperti halnya pada  model pembelajaran AIR. Windi_Oktivia (Wordpress.com.2012) menyatakan yang menjadi kelebihan dari model pembelajaran AIR adalah sebagai berikut:

1) Melatih pendengaran dan keberanian siswa untuk mengungkapkan pendapat (Auditory).
2)       Melatih siswa untuk memecahkan masalah secara kreatif (Intellectually).
3)       Melatih siswa untuk mengingat kembali tentang materi yang telah dipelajari (Repetition).
4)       Siswa menjadi lebih aktif dan kreatif.

Sedangkan yang menjadi kelemahan dari model pembelajaran AIR menurut  Agus Naibaho (blogspot.com) yaitu :
1)       Membuat dan  menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa bukanlah pekerjaan mudah. Upaya memperkecil Guru harus punya persiapan yang lebih matang sehingga dapat menemukan masalah matematika tersebut.
2)       Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.
3)      Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka.


Referensi

 1. Purnamasari, Y.I. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Materi Aljabar  Kelas VII SMP.  Universitas Muhammadiyah Ponorogo: Ponorogo
 2. Pujiastutik, Hernik. 2016. Penerapan Model Pembelajaran AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Mata Kuliah Belajar Pembelajaran. Prosiding Biologi. Vol 13(1) hlm: 515-518.  Universitas PGRI  Ronggolawe Tuban: Tuban
   3.   http://agusjnaibaho.blogspot.co.id/2013/08/model-pembelajaran-auditory.html   diakses pada 05 April  2020 pukul 8.00 wib.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Bimbingan Konseling di PAUD/TK, SD,SMP, SMA

TATA CARA DZIKIR AN-NAQSYABANDI KAIFIYAT DZIKIR

Resensi buku Perencanan Pembelajaran : Mengembangkan Standar Kompetensi Guru