Filsafat 3
Pemikiran
Filsafat Ibnu Miskawayh
A. BIOGRAFI DAN KARYA IBNU MISKAWAIH
Nama
lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn
Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan
9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan filsafat, serta
pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu
dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah
itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana
Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya
banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.
Ibnu
Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq
(kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar
(tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
B. FILSAFATNYA
Ibnu
Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan
memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles,
Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat
filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu
Miskawaih hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan
sebelumnya oleh filsuf lain.
1. Metafisika
Menurut
Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan
esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada
yang lain sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan
proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya
dengan alam.Tentang
penciptaan yang banyak (alam) oleh yang satu (Tuhan), Ibnu Miskawaih menganut
paham emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam
perumusannya terdapat perbedaan dengan Al-Farabi, yaitu bahwa menurut Ibnu
Miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal
aktif). Dalam teori Al-Farabi akal aktif ini menempati tahap pemancaran ke
sepuluh (akal 10). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah.
Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak).
Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini,
menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud
berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Diambilnya
teori emanasi ini dimaksudkan untuk mensucikan ke-esaan Tuhan dari sifat
banyak. Ibnu Miskawaih mengatakan, bilamana satu penyebab melahirkan sejumlah
efek yang berlainan, maka kemajemukannya kiranya tergantung pada alasan-alasan
di bawah ini:
a.
Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan.
b. Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
c. Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
b. Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
c. Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
Tak
satu pun pernyataan di atas berlaku untuk penyebab utama, yaitu Tuhan. Tuhan
tidak mungkin dalam zatnya mempunyai bermacam-macam kekuatan yang berlainan.
Jika Tuhan menggunakan berbagai sarana, seperti manusia menciptakan kursi
dengan berbagai sarana seperti kayu, paku, gergaji, dan sebagainya, maka
siapakah yang menciptakan sarana-sarana itu? Jika sarana-sarana itu diciptakan
oleh penyebab yang selain Tuhan, berarti ada pluralitas penyebab utama.
Pernyataan ketiga pun tidak mungkin bagi Tuhan, karena yang banyak tidak dapat
mengalir dari tindak satu agen penyebab. Karena itu pastilah bahwa penyebab
utama hanya menciptakan satu entitas yang darinya kemudian tercipta
entitas-entitas yang lain. Entitas itulah yang disebut akal aktif.
Ibnu
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi makhluk hidup yang secara mendasar
sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas empat tahapan:
1.
Evolusi mineral; yaitu bentuk kehidupan yang dihuni makhluk-makhluk rendah.
Misal batu, air, tanah.
2. Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah rerumputan spontan, kemudian tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.
3. Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.
4. Evolusi manusia; ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.
2. Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah rerumputan spontan, kemudian tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.
3. Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.
4. Evolusi manusia; ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.
2. Kenabian
Ibnu
Miskawaih berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda dengan filsuf dalam hal bahwa
kedua-duanya memperoleh kebenaran yang sama. Hanya cara memperolehnya yang
berbeda; Nabi memperoleh kebenaran melalui wahyu, jadi dari atas (akal aktif)
ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya
inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat berhubungan dan
menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber kebenarannya
sama-sama akal aktif.
3. Jiwa
Jiwa
menurut Ibnu Miskawaih adalah substansi ruhani yang kekal, tidak hancur dengan
kematian jasad. Kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami
oleh jiwa. Jiwa bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang bersifat
materi. Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad Ibnu Miskawaih mengemukakan
argumen-argumen sebagai berikut:
a. Indera, setelah mempersepsi suatu
rangsangan yang kuat selama beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi
rangsangan yang lebih lemah, sedangkan aksi mental dan kognisi tidak.
b. kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c. mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d. kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e. jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi.
f. ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan pengetahuan.
b. kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c. mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d. kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e. jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi.
f. ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan pengetahuan.
Jiwa
memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan.
Tiga daya itu masing-masing melahirkan sifat kebajikan. Yaitu hikmah, keberanian,
dan kesederhanaan. Keselarasan ketiga kebajikan tersebut akan menghasilkan
kebajikan keempat, yaitu adil. Hikmah ada tujuh macam; tajam dalam berpikir,
cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat
perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Keberanian ada sebelas sifat;
murah hati, sabar, mulia, teguh, tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah,
bersemangat, dan belas kasih. Kesederhanaan ada dua belas; malu, ramah,
keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan
merdeka.
4. Moral/Etika
Dalam
bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak disorot dikarenakan langkanya filsuf Islam
yang membahas bidang ini. Secara praktek etika sebenarnya sudah berkembang di
dunia Islam, terutama karena Islam sendiri sarat berisi ajaran tentang akhlak.
Bahkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Ibnu Miskawaih mencoba menaikkan taraf kajian etika dari praktis ke
teoritis-filosofis, namun dia tidak sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral,
etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung
daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi
dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan.
Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji;
kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat
menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan
pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan
perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai
antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Masalah
pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan
(al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana
kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu
kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh
manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran
kebaikan yang disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan
bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut
kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi
tiap orang.
Ada
dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang pertama diwakili oleh Plato yang
mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama
manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan.
Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan
dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan.
Ibnu
Miskawah mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu.
Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka
kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya
dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan
yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat
perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan
kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat
malaikat.
Tentang
keutamaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta
kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin
ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang sikap uzlah (memencilkan diri dari
masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah
masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena itu dapat
dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia
dalam konteks masyarakat.
Ibnu
Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya
adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu
paling baik jika diobati dengan filsafat.
5. Sejarah
Sejarah
merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi masyarakat pada masa
tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang pasang-surut
kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan
yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan datang. Demikianlah sekadar pengantar kepada
pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih.
Referensi:
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta: Serambi, 2001.
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta: Serambi, 2001.
Komentar
Posting Komentar