Paulo Friere, Pendidikan Islam, dan Pembebasan
Paulo
Friere, Pendidikan Islam, dan Pembebasan
A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian),
manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia
lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi
dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[1]
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan
sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan
generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa
depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan
peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam
rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi
kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[2]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi
pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau
“pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer,
melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus
sebagai agen pembaharuan.[3]
Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika
terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan
kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan
seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi
budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara
akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan.
Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang
kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah sati kritik yang muncul adalah bahwa pendidikan
mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami
proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya.
Bisa juga dikatakan bahwa proses pendidikan mengalami “kegagalan” ketika
melihat beberapa kasus yang lalu muncul ke permukaan. Kenyataan ini telah
menjadi keprihatinan bersama masyarakat. Oleh karena itu, reformasi pendidikan
perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah
untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.
Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan
kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum
mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang
punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah salah satu problem
nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya strategisnya adalah dengan
membangun paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Dengan pendidikan
yang bermodelkan seperti ini maka sikap moderatisme dalam beragama adalah hasil
yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Dan ini sangat penting karena memiliki
benang merah pemikiran yang jelas.
Mencetak calon pemimpin bangsa tidak
bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa
saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk
pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa
oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan.
Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke
satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan
nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur
kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses
transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis.
Tapi, pendidikan selama ini hanya sebagai momen
“ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan.
Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi.
Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan
atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang
dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya,
pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran
masyarakat keseluruhan.
Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung
banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai
minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar,
seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem
pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam
sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam
pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing
penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak
pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat
hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau
diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem
di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau
alat politik penguasa.[4]
B. Tentang Paulo Friere
Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada
masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap
kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga
belajar filsafat
dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah
benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai
seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944
ia menikah dengan Elza
Maia Costa de Oliveira, seorang
rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya
juga membesarkan kelima anak mereka.
Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen
Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco
(yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja
di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk
pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan
agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.
Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen
Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan
kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300
orang buruh kebun tebu
diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan
terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuat
lingkaran budaya di seluruh negeri.
Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan
menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi
pengkhianat. Setelah mengasingkan diri untuk waktu singkat di Bolivia,
Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan
sebagai Praktik Pembebasan.
Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan
sebagai profesor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling
terkenal, Pendidikan
Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang
diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru
diterbitkan di Brasil pada 1974 (karena perseteruan politik antara serangkaian
pemerintahan diktatur militer yang otoriter
dengan Freire yang Kristen sosialis ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi.
Setelah setahun di Cambridge,
Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus di Dewan
Gereja-gereja se-Dunia. Pada
masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau
dan Mozambik.
Pada 1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke
sana pada 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo,
dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga
1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat
menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.
Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire
menikahi Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya
sendiri yang radikal. Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São
Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire. Freire
meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997. Beberapa penghargaan
yang diperoleh oleh Friere adalah ; Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk
Pembangunan Internasional Penghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka
bersama istrinya, Elza Penghargaan UNESCO 1986 untuk Pendidikan untuk Perdamaian
Paulo Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang
bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti kolonialis. Malah, dalam
banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai
perluasan dari atau jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya
memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang
tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya
para kolonis).
C. Makna Pembebasan dalam Perspektif Paulo Friere
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada
kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral
yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya
kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak,
sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia
juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan
ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya
kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk
“manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa
dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai
media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih
manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur
kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi
pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis
yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan
sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan
generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa
depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan
peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam
rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi
kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[5]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi
pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau
“pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer,
melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus
sebagai agen pembaharuan.[6]
Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika
terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan
kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan
seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi
budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara
akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan.
Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang
kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang
dari Paulo Friere. Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin
masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi
alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya
dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan
gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang
menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan
yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.[7]
Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya
(kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya
kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid
hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang
disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang
sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the
culture of silence).[8]
Keprihatinan Friere terhadap kaum tertindas (oppressed)
telah mendorong dirinya untuk mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan
kemanusian. Menurutnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum
penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa
takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra
diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab.
Kebebasan hanya bias “direbut” bukan “dihadiahkan” kata Friere.[9]
Di dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip
pendapat Erich Fromm sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung
manusia modern ;
“(manusia) menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal
dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka
anggap cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Yang
menjadi persoalan adalah ketika mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia
akan menyesuaikan diri dengan penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia-kan
hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin
tidak berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.[10]
Manusia modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan
mitos-mitos dan telah dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye
ideology, dan lainnya tanpa disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya
akan menghilankan kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas.
Manusia modern, kemudian tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas
zaman, melainkan hanya menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau
kaum “elit”.
Jika kita mau memandang perjalanan peradaban manusia
sendiri, yaitu ketika gerakan renaissance itu muncul, berangkat dari
tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar
perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan teraktualisasi.
Sedangkan pada masa gerakan Aufklaerung, yang menjadi “cita-cita”-nya
adalah moral rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai kemampuan akal budi
secara bebas.[11]
Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko bahwa yang kita butuhkan adalah
pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan “dari rasa cemas,
rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan
atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi atau oleh adat kebiasaan…”.[12]
Melalui pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang
pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara
kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan
kritis terhadap “realitas akal sehat”, maka Paulo Freire merefleksikan gagasan
tersebut dengan memformulasikannya dalam sebuah model “penyadaran
(conscientizacao)”.[13]
Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang
ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di
sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi
pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara
kritis dan cerdas.
“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak
dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua
pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari
secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical
berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu
bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan
sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang
melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena
yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai
adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah
negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki
visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia
hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan
kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk
yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam
manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada
kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis
kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika
dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal
dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah
sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan
(selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah
menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka,
revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada
awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan
ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat
baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang
kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan
realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan
kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal
kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu
mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin
didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi
terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam
buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan
pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki
batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum
tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan
batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain,
yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak
pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang
ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena
itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat
itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan
rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan
rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang
suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire
diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan,
menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi
"masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat
terbuka (open society).
D. Menggugat Pendidikan Gaya Bank
Freire mengurai secara ganblang problem pengetahuan yang
dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam
bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan
yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan
model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan
obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid).[14]
Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan
realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah
satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru Cuma “mengisi” para murid
dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan
terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid
untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan
menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para
guru adalah penabungnya.
Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan
“gara bank”. Akhirnya, murid
hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam
model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah
alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak
ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling
mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire
kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah
Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan
dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk
memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire
memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu
dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat
efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen
berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas
(siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan,
di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.
Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan
mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid
sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan
hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun
juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang.[15]
Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan
tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.
Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk
menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai
pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi
lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini
pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar
antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan
pertentangan antara murid dengan guru.[16]
Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas --seperti telah
sebagian dikemukakan di muka-- maka perlu perantaraan atau mediasi yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah
sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan
sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan
untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.
E. Pendidikan Islam Sebagai Proses Pembebasan
Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan diatas,
penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan
Allah untuk manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire
telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju
transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan
pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam
segala aspeknya. Ali Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka
dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai
sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya
memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material
kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi
tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.[17]
Islam sendiri adalah agama pembebasan karena "Islam
memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan
kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan
berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas".
Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan
karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka
pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. 28:5), hal ini semakin menegaskan
bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk
membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran.[18]
Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah mekalukan
sebuah gerakan pembebasan yang cukup revolusioner.[19]
Nabi Muhammad bukan saja melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang
selama berabad-abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran
perempuan dalam berbagai sector publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat)
kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan
inilah, umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam
pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur
(cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari
kegelapan menuju cahaya keselamatan.[20]
Sementara itu, di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata
tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu,
‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali,[21]
Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen
Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan,
ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata
‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui,
mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek
atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.
Kata ilmu dalam pengertian
teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini
didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki
kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan
berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36). "Pengetahuan (‘ilm)
boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat
"suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau
boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu".[22]
"Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan
intelektual yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi
kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit".[23]
Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal
tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran
akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa
berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek
terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh
Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus
bisa terukur kebenarannya.
Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran
tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir
adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia
mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa
suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal
untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami
kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang metarealitas,
yakni suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk
mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi
tiada. Atau dari mati menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2:
28).
Kesadaran inilah yang akan membebaskan manusia dari segala
bentuk penindasan di alam semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan
manusia pada posisinya sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah
(wakil Tuhan) di alam semesta ini.
F. Penutup
Jika Friere basis gerakan pembebasan adalah melakukan kesadaran
kritis untuk membuka kesadaran “kaum tertindas”, maka Islam mendasarkan
diri pada kesadaran untuk memahami realitas yang terjadi disekitar manusia itu
sendiri. Friere menginginkan adanya kesadaran akan bahaya budaya industri,
sekalipun manusia telah berhasil meningkatkan standar hidupnya, tetapi dalam
waktu yang sama budaya itu cenderung untuk menempatkan manusia pada posisi
tercerabut dari akar kemanusiaannya.[24]
Disini ada “titik temu” antara pembebasan yang diusung
Friere dengan yang ada dalam Islam. Karena pesan substansial dalam Islam adalah
pesan pembebasan. Sementara pembebasan itu sendiri haruslah dijalankan secara
dialogis dan demokratis. Pembebasan dilakukan dengan menjadikan rakyat sebagai
subyek pembebasan, dan bukan obyek. Seperti dituliskan oleh James Y.C. Yen yang
telah menjadi motto gerakan-gerakan pembebasan, "...Datanglah kepada
rakat. Hidup bersama rakyat. Berencana bersama rakyat. Bekerja bersama rakyat.
Mulailah dengan apa yang dimiliki rakyat. Ajarlah dengan contoh, belajarlah
dengan bekerja. Bukan pameran, melainkan suatu sistem, bukan pendekatan
cerai-berai, melainkan mengubah. Bukan pertolongan, melainkan pembebasan...".
Akan tetapi, gagasan Friere tersebut sebenarnya untuk
menentang arus tradisi yang serba verbal. Misalnya bias dilihat dalam
kritiknya tentang praktik pendidikan yang menjemukan itu ;
“…Tradisi pendidikan Brazilia,
bagaimanpun juga tidak merupakan pertukaran ide-ide, melainkan pendekatan
ide-ide itu; bukan merupakan debat atau diskusi tema-tema, melainkan pemberian
pelajaran atau kuliah; bukan pemberian kerja sama atas murid, melainkan
kerjasama atas murid, memaksakan suatu perintah yang harus dituruti oleh para
murid. Dengan memberikan rumusan-rumusan yang harus diterima oleh para murid
dan bukan memberikan perangkat untuk berfikir otentik kepadanya. Kita tidak
memungkinkan adanya asimilasi muncul dari pencarian, dan dari usaha untuk
mencipta lagi dan menemukan lagi…”[25]
Oleh
sebab itulah, Friere mengusulkan system dan orientasi pendidikan yang
membebaskan dari budaya yang serba verbal, mekanistik, dan dangkal. Budaya seperti
ini, menurut Friere, tidak mungkin akan menghantarkan manusia kepada kehidupan
yang lebih otentik dan lebih manusiawi.
Kelebihan
pemikiran Friere ini, terletak pada kemampuannya untuk merangkai
gagasan-gagasan pendidikan dalam sebuah teori yang cukup mapan. Tetapi yang
belum terjawab dari gagasan pembebasan Friere adalah pertanyaan “freedom for
what?”. Friere hanya menjawab pertayaan “freedom from what?”, yaitu
bebas dari budaya verbal yang serba naïf dan membosankan, bebas dari budaya
otoriter yang mendikte dan memerintah. Sementara itu, kebebasannya Friere ini,
masih berkutat dan terikat dengan kepentingan dimuka bumi ini, yaitu
kepentingan yang masih bersentuhan dengan matrealisme dan positisme, tetapi
belum mempunyai kaitan organic dengan dimensi spritual transcendental, yang
memungkinkan manusia mampu berdialog secara intim dengan Yang Tak
Terhingga, dengan Yang Mutlak, yaitu Tuhan Alam Semesta.
Dialog
spritual in, akan memberikan makna yang sangat mendasar bagi pendidikan, karena
pada hakikatnya manusia berada dibawah “kuasa”-Nya. Dan “dalam pandangan
al-Qur’an, eksistensi manusia dimuka bumi ini akan bermakna manakala setiap
aktifitas yang mereka lakukan, berorientasi secara sadar ke Realitas Yang
Tertinggi. Tanpa orientasi seperti ini, sebaik apapun sebuah praktik
pendidikan, tidak akan mempunyai nilai di sisi-Nya.[26]
Dengan demikian manusia akan menyadari dengan sendirinya
tentang kehariran alam semesta sebagai realitas fisika dan kehadiran Allah SWT
sebagai realitas metafisika. Alam fisika sebagai realitas terbuka, sedangkan
alam metafisika sebagai realitas tertutup. Alam semesta yakni mikro kosmos dan
makro kosmos hadir sebagai realitas untuk mengukuhkan eksistensi Tuhan
sebagai pemilik mutlak yang tak pernah punah, sedangkan alam semesta itu
sendiri bisa punah sebagai suatu yang nisbi alias tidak kekal.
Maka dalam Islam, Alam semesta adalah sumber
ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena sebelum adanya alam
semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak berakhir.
Sedangkan alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari
Allah yang bersifat langsung bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam
semesta bersifat relatif.[27]
Daftar Pustaka
Asghar Ali
Engineer, Islam dan Pembebasan, (Yogjakarta : LKiS, 1993)
________________,
Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Maarif,
1980)
Al-Taumy
Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983)
Ali Audah, Konkordasi Qur’an, , (Bandung : Mizan, 1997)
Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Abudin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu)
Danis Collins, Paulo
Freire Kehidupan, Karya & Pemikirannya, (Yoryakarta : Pustaka Pelajar,
2001)
Ghulsyani, Filsafat
Sains Menurut Al Qur’an, (trj), Bandung ; Mizan. 1990)
Hanif Dzakiri, Islam
dan Pembebasan, (Jakarta : Djambatan dan Pena, 2000)
Hasan
Langgulung, Beberapa Pengertaian Tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al
Maarif, 1980)
Ignas Kleden, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika
Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
Ibn Khalsun, Mudaddimah, (trj), (Jakrta : Pustaka
Firdaus, 2000)
Jalaludin
Rahmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung : Mizan,
1997)
______________, Reformasi Sufistik, (Bandung :
Pustaka Hidayah, 2002)
M.Escobar,KK
[Editor], Sekolah Kapitalisme yang licik [Dialog Bareng Paulo Freire], (Yogyakarta,
LKiS, 1998)
Muhaimin dan
Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Trigenda Karya, 1993)
M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik,
(Yogyakarta: LKiS, 2001)
Muhammad Iqbal,
Membangun Kembali Pemikiran Agama
dalam Islam, (trj). (Jakarta : Tintamas, 1966)
Paulo Freire,
Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta : LP3S, 1995).
__________, Menjadi Guru Merdeka
[Petikan Pengalaman], (Yogyakarta : LKiS, 2000)
__________, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang
Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001)
__________, Pendidikan
Sebagai Proses [Surat menyurat pedagogis dengan para Pendidik Guinea-Bissau], (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2001)
__________, Pedagogy
Pengharapan, (Yogyakarta : Kanisius, 2001), Pedagogy Hati, (Yogyakarta
: Kanisius, 2001)
__________,Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta : Gramedia, 1984)
Rusli Karim,
”Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam A. Syafii Ma’arif
dkk., Pendidikan di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1991)
Ramayulis,
”Guru Agama Cenderung Otoriter dan Doktriner”, dalam Kompas, 1994
Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, (Jakarta :
LP3ES, 1984).
Syafi’i Ma’arif, “Pendidikan Islam Sebagai Paradigma
Pembebasan” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara
Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1991).
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner”
dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
William A. Smith, Conscientizacao Tujuan pendidikan Paulo
Freire, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001)
Qodri A. Azizy, Pendidikan
(Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003)
[1] Dalam
Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah ilmu
dari buaian sampai ke liang lahat”.
[2] Hasan
Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ;
al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[3] Rusli
Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa
(ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta
; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[4] Qodri A.
Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka
Ilmu, 2003), hal. 8-10.
[5] Hasan
Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ;
al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[6] Rusli
Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa
(ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta
; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[7] Lihat
Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), (Jakarta : LP3ES, 1985),
terutama pada Bab. 2.
[10] Paulo
Friere, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, (trj), (Jakarta :
Gramedia, 1984), hlm. 6 – 7.
[13] M.
Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS,
2001), hal. xvi.
[15] Lihat
juga Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”,
dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.
457.
[16] Samuel
Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 428-433.
[17] Asghar
Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yoyakarta : Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 34 – 35.
[18] Lihat
misalnya Musa dengan melakukan pembebasan bagi kaum Israel atas Fir’un, Luth
dengan upaya membebaskan kaumnya dari “hegemoni” nafsu heteroseksual, Ibrahim
melakukan pembebasan dari tekanan Namruj, dan lainnya.
[19] Jalaludin
rahmat menyebutnya sebagai seorang “Reformis”, karena kemampuan Nabi dalam
melakukan pembaharuan diberbagai bidang kehidupan masyarakat Islam di Semenanjung
Arabia. Lihat Jalaludin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung : Pustaka
Hidayah, 2002), hlm 17 – 20.
[23] Muhammad Iqbal,
Membangun Kembali Pemikiran Agama
dalam Islam, (trj). (Jakarta : Tintamas, 1966), hlm.
129.
[26] Syafi’i
Ma’arif, “Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan” dalam Muslih Usa (ed),
Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ;
Tiara Wacana, 1991), hlm. 25.
[27] "Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam
akan mengungkapkan rahasia-rahasianya kepada manusia dan
menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya.
Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk
menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan
mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya” lihat
Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, (trj), Bandung ; Mizan. 1990), hlm. 54.
Terimakasih, artikelnya sangat bermanfaat..
BalasHapusNajib Darmawan FIAI UII
ok
BalasHapus