Filsafat islam 2
RANAH
filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai
pandangan yang cemerlang. Sebut saja tokoh-tokoh terkenal dalam bidang
filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak
menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi
terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang
filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat
lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang
filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Selain
tokoh-tokoh tersebut, masih ada banyak nama-nama besar dalam khazanah filsafat
Islam. Dua nama diantaranya adalah Ibnu Maskawaih dan Ibnu Thufail. Ibnu
Maskawaih terkenal dengan pemikiran tentang al nafs dan al akhlaq, sedangkan
Ibnu Thufail terkenal dengan pemikirannya yang salah satunya tertuang dalam
roman filsafatnya yang terkenal Hayy bin Yaqdhan.
Membahas
pemikiran seorang tokoh seperti Ibnu Maskawaih dan ibnu Thufail akan menjadi
menarik dan terus menarik sepanjang perkembangan khazanah intelektual muslim.
Bukan saja karena corak pemikiran kefilsafatannya, namun juga karena salah
satunya (seperti Ibnu Thufail) gemamenuangkan idenya melalui kisah-kisah ajaib
yang penuh kebenaran sehingga semakin megukirkan nama besarnya.
Makalah
ini merupakan hasil kajian penulis melalui beberapa literatur tentang pemikiran
Ibnu Maskawaih dan Ibnu Thufail. Tentang Ibnu Maskawaih, penulis membatasi diri
seputar filsafat al nafs dan akhlaq, sedangkan mengenai Ibnu Thufail penulis
berupaya menganalisis hasil karya yang berjudul hayy bin yaqdhan yang penuh
lambang diantaaranya pengetahuan tentang Tuhan serta kewajiban berbuat baik dan
buruk.
Ibnu
Maskawih
1.
Riwayat Hidup Maskawaih
Maskawaih
adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya
pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan
dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India,
disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan
namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut
diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam.
Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum
Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya
sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika
orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini
juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan
kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawannya[1].
Maskawaih
dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis
menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth
menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan
wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M[2].
Dilihat
dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani
Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan
berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah
al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri
dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad
bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah
pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas
digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan
pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[3].
Puncak
prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H).
Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul
sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada
hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang
melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk
menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
2.
Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a.
Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut
Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa
bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh
salah satu panca indera.
Jiwa
tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya
kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang
bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran
konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi
hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat
menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya
pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan
dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi
kepuasan kepada jiwa.
Lebih
dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului
dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu
membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang
diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan
membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan
membeda-bedakannya.
Dengan
demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan
kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara
amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui
bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di
dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang
dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
Ibnu
Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya
kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu
mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga
kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan
urutannya sebagai berikut:
1)
Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2)
Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
3)
Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik[4].
Manusia
dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas.
Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat,
dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia
yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan
dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia
yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas),
maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan
dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut,
Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub,
sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas
mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta[5].
b.
Filsafat Akhlaq
Sebagai
“Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al
Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim
al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal)
adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya
yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti
dan pembersihan watak).
Kata
akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan
pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya[6].
Dengan
kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan
secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan
dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan
yang dapat melahirkan perbuatan baik.
Dari
pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak
kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai
khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat
dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya
dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang
mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu
Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq,
dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan
adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun.
Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan
membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.
Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan
bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq[7].
IBNU
THUFAIL
1.
Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Nama
lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Abd al Malik ibn Muhammad
ibn Muhammad ibn Thufail. Ia merupakan pemuka pertama dalam pemikiran filosofis
Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Thufail lahir pada abad VI H di kota
Guadix, propinsi Granada. Keturunannya merupakan keluarga suku Arab yang
terkemuka, yaitu suku Qais.
Karier
Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas
jabatan tersebut, ia diangkat sebagai sekretaris Gubernur di propinsi itu. Pada
tahun 1154 M (549 H) ia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier,
penguasa Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi
serta menjadi qadhi di pengadilan pada masa Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf
(558 H – 580 H)[8].
2.
Falsafah Hayy bin Yaqdhan
Sebagaimana
umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif Ibnu Thufail juga
berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana
kemunculannya. Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam
karyanya yang terkenal yang diberi nama hayy bin yaqdhan (hidup anak kesadaran,
yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal
juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat
eluminasi).
Hasil
karya Ibnu Thufail ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di
mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar
ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah
menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni vico dolla Mirandolla
(Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward Pockoke yang memberi
tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim
nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai
apresiasinya terhadap Ibnu Thufail. Pada masa selanjutnya, karya ini juga telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
Secara
ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu
di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut di sebut oleh Ibnu Thufail
sebagai hay bin yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari diambil anak
oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi
dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya
telah mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqdhan menemukan bahwa dirinya
ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut. Ia
melihat bahwa hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu
di bagian-bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat hay bin yaqdhan mulai berfikir
dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk
menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit
binatang yang telah mati.
Sampai
pada suatu saat, matilah kijang yang mengasuhnya. Hal tersebut mendorongnya
untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut. Tetapi secara kasat mata dia tak
menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia
mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan
yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku.
Maka hayy bin yaqdhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu
pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir.
Selain
dari pada itu, pada suatu hari hayy bin yaqdhan menyalakan api di pulau
tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan
dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan bahwa daging
burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap. Maka mulailah ia
selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia
memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Hayy
bin yaqdhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos
dan akan berakhir pada titik ketiadaan, dan yang di maksud dengan alam adalah
segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu
mempunyai karakter “Baru” ( haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan
(yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap
peristiwa baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya
membawa hayy bin yaqdhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The
creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini
bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi
asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala
yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani
Tuhan yang satu.
Kemudian
hayy bin yaqdhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari
yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulang-ulang maka seperti
itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang
terdapat pada planet dan bintang-bintang. Tidak cukup dengan itu, hayy bin yaqdhan
berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa-apa yang bisa kita lihat
melalui jejak-jejak ciptaan-Nya, maka tampaklah karakter Tuhan sebagai
Eksistensi yang Maha sempurna ( The perfect one ) lagi kekal dan yang selainnya
akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring
dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqdhan pada umurnya yang ke-35,
dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada
hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah
lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa
(nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan
kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil
berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat ) sang
wajibul wujud (The necessary being).
Sampai
pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang
manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd)
yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi,
maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqdhan. Dan Hayy bin yaqdhan pun
mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaa’ kulluhaa) dan
kebenaran-kebenaran wahyu ( syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun
akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal.
Kedua
orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid
dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka
tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama[9].
Dan
melalui interaksinya dengan Hayy bin Yaqdhan, maka Absal pun tahu bahwa apa
yang telah dicapai Hayy dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain
itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah di bawa oleh
nabi-nabi.
Dan
kemudian Absal pun membawa Hayy bin yaqdhan kepada kaumnya, dan mulai berorasi
dan memperingatkan kaumnya (sebagaimana para nabi) dengan apa-apa yang telah ia
lihat dan dapatkan dari pengalamannya tentang kesejatian hidup, keremehan harta
benda dan pentingnya merenungi tanda-tanda kekuasaan Sang pencipta. Tetapi ia
terlalu vulgar dalam penyampainnya, sehingga kaumnya pun menghindarinya karena
menganggapnya menyimpang dari pemahaman literar matan-matan kudus wahyu.
Akhirnya Hayy bin yaqdhan berpaling kepada Absal dan berkata bahwa nabi-nabi
lebih tahu tentang jiwa-jiwa manusia dari pada dirinya dan pelajaran-pelajaran
dan pengalaman yang ia capai ketika masih hidup di pulau bersama hewan-hewan
itu lebih tinggi dan adi luhung dari fase manusia yang ia hadapi sekarang. Dan
akhirnya Absal pun menemani Hayy bin yaqdhan hidup bersama-sama dengannya
beribadah dan merenung sampai maut menjemput mereka.
Jika
dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing
menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:
1)
Hayy bin Yaqdhan, sebagai lambang kekuatan akal dalam mencapai suatu kesimpulan
atas keyakinan kepada Tuhan. Dengan memikirkan alam dengan isinya serta dirinya
sendiri, lambat laun sampai pada keyakinan kepada Tuhan.
2)
Tokoh Absal, sebagai lambang hidup tokoh agama, yang dengan memikirkan wahyu
sebagai kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan kepada Tuhan. Dari sini
terlihat kesesuaian antara agama dan filsafat.
3)
Keadaan di sekitar, sebagai lambang fakta-fakta kehidupan.
Dari
sini kemudian dapat dipahami bahwa ada kesinambungan secara hierarkhis antara
ilmu, agama, dan filsafat. Kijang yang mati merupakan fakta yang bisa menjadi
bahan renungan Hayy bin Yaqdhan, apa di balik kematian itu? (ketika berbicara
“di balik”, merupakan wilayah filsafat).
Di
roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata
memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja. Dan kedua
wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan
khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus
filosofis maupun pencerahan mistik (kasyaf) dan kalangan awam yang tak mampu
mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus
wahyu keagamaan.
PENUTUP
Peradaban
Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa
filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang
hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah
pemikiran lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal Yunani dan Barat ketimbang
dari Islam.
Meskipun
para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan dianggap
berilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan
tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Karena itu, kajian-kajian mengenai
tokoh-tokoh Islam berkenaan dengan khazanah intelektual Islam masih perlu
ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.
[1]
M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafah al Islam, (Mesir: t.p., 1927), h. 304-305
[2]
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 166
[3]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward Jurji et.al.,
(Beirut: t.p., 1952), h. 566
[4]
Ibid., h. 173
[5]
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: t.p., 1970), h. 150
[6]
A. Mustofa, Filsafat…, h. 177
[7]
Ibid., h. 178
[8]
Ibid., h. 272
[9]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 163
sumber: http://abulraihan.wordpress.com/2008/05/12/pemikiran-ibnu-maskawaih-dan-ibnu-thufail/
Komentar
Posting Komentar