Filsafat Islam 1
Filsafat Dasar ~ Terminologi
Relasi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah
diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula
ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu
adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah
"kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar
atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan melihat apakah
keduanya dapat hidup berdampingan secara damai, secara damai, apakah keduanya
dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun
filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh
filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran
yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula
terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran.
Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan
sebagai berikut:
Perhatikan
ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang
sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan
adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat
manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai
pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai
pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya,
ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci
mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh
manusia, jawabannya akan berupa ilmu
tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi
fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya
akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya.
Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya
atau antropologi sosial.
Dari
contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi
lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas,
ilmu tentang manusia.
Selanjutnya,
jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat
manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal
ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya
dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat
manusia yang ada di balik
tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik"
untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan
bermacam-macam antara lain:
· Monisme, yang berpendapat
manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya
jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme,
materialisme, atomisme.
· Dualisme, yang mengajarkan
bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu
sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
· Triadisme, yang mengajarkan
bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
· Pluralisme, yang mengajarkan
bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di
samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan
sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
· Aristoteles:
o Manusia adalah animal rationale.
Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
§ Tumbuhan = benda mati + hidup ---->
tumbuhan memiliki jiwa hidup
§ Binatang = benda mati + hidup + perasaan
----> binatang memiliki jiwa perasaan
§ Manusia = benda mati + hidup + akal ---->
manusia memiliki jiwa rasional
o
Manusia
adalah zoon poolitikon,
makhluk sosial.
o
Manusia
adalah "makhluk hylemorfik",
terdiri atas materi dan bentuk-bentuk.
· Ernest Cassirer:
Manusia adalah animal
simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya
adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya
jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah
disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari
contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil
pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah
batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab
pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia
hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan
pendapat Immanuel Kant
dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang
bagaimana nomena-nya
ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab
pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang
pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi,
sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak
menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand
Russel mencatat August
Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. "Dan ia patut
bernasib demikian," demikian Russel.
Selanjutnya,
filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama.
Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada
manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan)
teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan
wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat
membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan
mendapat anak dengan in
vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi
orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi
tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika,
yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat
menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya,
agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat
dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga
berarti bahwa agama adalah
di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong
agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi
manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan
perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk
lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat
menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain
mampu membangun dunia ini.
Dengan
cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan
filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling
mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau
realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab
secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang
kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang
dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.
Demikianlah
pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminology “filsafat” dan
kedudukannya di antara ilmu dan agama.
*
* *
Komentar
Posting Komentar